Jaring Kaliresi Weblog

September 21, 2008

Diana C Pondaaga Bertengkar dengan Pengelola Apartemen

Filed under: Wawancara — jaringkaliresi @ 7:38 am
Tags:

Wawancara Diana C Pondaaga Pengurus APERRSI yang dimuat Republika Minggu 21 September 2008 sedikit memberi pencerahan buat kita calon penghuni rumah susun Kalibata Residences. Apakah kita siap menjadi diana diana ? yang mau berkorban tenaga dan fikiran demi kepentingan bersama  ? Berikut wawancara selengkapnya :

Diana C Pondaaga menikmati betul tinggal di apartemen. Beragam keluhan yang kerap dilontarkannya semasa menghuni rumah landed di Cinere, Jakarta selatan sontak hilang begitu ia dan suami memilih bermukim di rumah vertikalnya di bilangan Slipi, Jakarta Barat. ”Dulu, waktu tempuh kantor-rumah, bolak-balik, hampir lima jam dan ke mana-mana harus pakai mobil,” kenang Diana yang menghuni apartemen sejak 1999.

Setelah menjadi penghuni apartemen, Diana merasa tertolong dengan moda transportasi umum yang seliweran di muka huniannya. Ia tak harus menyetir sendiri untuk sampai ke tempat aktivitas. ”Dulu, sudah capek duduk, belum juga nyampe. Sekarang, masih betah duduk, sudah sampai,” ujar Diana.Keunggulan tinggal di apartemen memang membuat senyum Diana merekah. Namun, pilihan yang sama sekaligus membuat keningnya kerap berkerut.

”Ternyata, tinggal di apartemen mendatangkan banyak persoalan,” kata dia.Diana merasa dikerjai oleh pengembang yang menyulap diri menjadi pengelola gedung. Haknya sebagai konsumen dilanggar secara terang-terangan dengan tidak transparannya dana pengelolaan apartemen. ”Saya mengetahuinya sejak menjadi pengurus perhimpunan penghuni di tahun 2004. Padahal, kecurangan sudah terjadi sejak apartemen berdiri di 1996,” sesal Diana.Mendapati dirinya tersudut saat memperjuangkan hak konsumen, Diana tak gentar. Ia juga tak sendiri. Penghuni lain bergandeng tangan dengan Diana memperjuangkan hak bersama. ”Itulah sebabnya, penghuni apartemen harus berhimpun,” kata dia.

Susah-payah mengurusi rumah susun, Diana bukan kurang kerjaan. Ia justru ingin bisa berguna bagi masyarakat. Apalagi, pencapaian di dunia kerja sudah ia lewati. ”Terakhir, saya berkarier sebagai konsultan BUMN dan kini mengelola bisnis konstruksi serta rumah kost di Bandung, Jawa Barat,” urai mantan project officer USAID dan Asian Development Bank ini.

Apa sebetulnya yang diinginkan Diana dan komunitas penghuni apartemen? Selasa (9/9), Diana menuturkan kegelisahan dan perjuangannya bersama Asosiasi Penghuni Rumah Susun Indonesia (APERSSI) demi menyehatkan iklim usaha rumah susun. Diana adalah satu-satunya pengurus inti di APERSSI. Ketua umum dipegang Ibnu Tadji HN, sekretaris jenderal Aguswandi Tanjung, ketua Bidang Kelembagaan adalah Hariadi Darmawan. Diana menjabat ketua Bidang Operasional dan Humas.Berikut petikan wawancara wartawan Republika, Reiny Dwinanda, dan fotografer <B>Amin Madani<B> dengan Diana Pondaaga:

Akhir Agustus lalu, seorang batita jatuh dari lantai 25 sebuah apartemen di bilangan Semanggi, Jakarta Selatan. Ini bukan kasus pertama kecelakaan di apartemen…
Bisa jadi, masyarakat belum siap mental tinggal di apartemen. Mestinya, penghuni melakukan langkah pengamanan dengan memasang teralis di tiap jendela yang bisa dibuka. Sedangkan, di area bersama, pengamanannya menjadi tanggung jawab pengelola.

Ketidaksiapan mental menghuni apartemen bukan saja tercermin dari kecelakaan yang terjadi. Tetapi, juga dari polah penghuni yang masih suka membuka pintu saat memasak. Begitu keluar dari lift, berjalan di koridor, aroma masakan menyebar di udara. Ini kan mengganggu.Belum lagi, penghuni yang suka membawa tamu dalam jumlah banyak dan membiarkan pintu unitnya terbuka. Berisik sekali, mengganggu penghuni lain. Sepertinya, banyak juga yang belum terbiasa dengan tata krama tinggal di apartemen.

Mau tak mau, masyarakat harus siap. Pemerintah telah menggulirkan rencana pembangunan 1.000 menara rumah susun.
Idenya bagus, Iback to city. Namun, semestinya, program tersebut dihentikan dulu. Pastikan, bahwa peraturannya pelengkapnya direvisi dulu. Yaitu Undang-undang No 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun, beserta turunannya. Sebab, rumah susun yang ada saja masalahnya menumpuk dan belum terselesaikan. Selama ini, baru puncak gunung esnya saja yang kelihatan. Bawah-bawahnya belum.

Masalah apa saja yang Anda temukan?
Kedua peraturan tersebut tidak memberi perlindungan hukum yang adil bagi penghuni rusun. Apalagi, selama ini, penghuni rusun masih menghadapi masalah yang berasal dari akal bulus nyaris semua pengembang. Termasuk yang bernama besar.Modus operandinya pun sama. Begitu unit apartemen jadi, pengembang nggak mau pergi. Mereka masuk ke kepengurusan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS).

Ibaratnya, cuma ganti baju dari pengembang jadi PPRS. Itu sekaligus menjadi pintu masuk pengembang untuk tampil sebagai pengelola gedung.Kesempatan itulah yang menjadi celah bagi mereka untuk mengeruk keuntungan besar dari penghuni. Jumlah uang penghuni yang lenyap ditelan pengelola gedung mencapai angka puluhan miliar. Di apartemen yang saya tempati saja yang hanya 363 unit, jumlah uang yang dikeruk pengelola gedung tercatat Rp 30 miliar lebih dari biaya pengelolaan sebesar Rp 6.500 per meter persegi.

Bukan cuma soal uang yang menjadi masalah. Ketidakberesan struktur bangunan pun sukar dikomplain. Seperti ketika penghuni apartemen kami mengeluhkan banjirnya lantai basement2 akibat struktur bangunan yang tidak sesuai standar. Pengelola yang merangkap pengembang cuma menambal seadanya tanpa perbaikan yang permanen. Tiap kali basement 2 tergenang, penghuni terpaksa parkir di areal lain.

Kejadian tak menguntungkan penghuni juga terjadi di banyak apartemen lain. Pola-pola kecurangan yang terjadi sayangnya tak bisa dilawan secara hukum. Betul, peraturannya sudah ada. Tetapi, tidak memberi efek jera. Bayangkan, pelanggaran terhadap PP No 4 tahun 1988 sanksinya hanya denda setinggi-tingginya Rp 1 juta atau kurungan paling lama satu tahun.Saat warga membentuk PPRS sendiri, organisasinya sukar mendapat izin dari Dinas Perumahan. Mereka memenangkan pengembang. Sebab, pengembang dan Dinas Perumahan sudah punya hubungan mesra. Sedangkan kami tak mungkin memberikan ‘selipan-selipan’.

Apa yang telah Anda dan APERSSI perbuat untuk mengubah kondisi yang  tak menguntungkan pemilik rusun itu?
Desember 2007, kami menyampaikan permasalahan ke Gubernur DKI Jakarta. Kami juga sudah audiensi dengan Menteri Perumahan Rakyat agar ada revisi terhadap peraturan yang sekarang berlaku. Ujungnya belum kelihatan, tetapi yang penting meretas jalan perubahan.Kami pun pernah mendatangi lembaga bantuan konsumen. Namun, ada pandangan kami ini orang berpunya. Mereka luput melihat ada hak konsumen yang di-dzolimi. Keanggotaan APERSSI selain penghuni apartemen juga mencakup penghuni rumah susun. Permintaan kami cuma satu, jangan ambil hak kami.

Lantas, dengan kondisi seperti itu, apa saran Anda bagi mereka yang ingin atau telanjur memiiliki unit rusun?
Telitilah sebelum membeli. Cek surat-surat. Mulai dari hak guna bangunan (HGB), surat izin prinsip, surat izin penggunaan peruntukan tanah (SIPPT), dan surat izin mendirikan bangunan (IMB). Rekam jejak penyelenggara pembangunan juga penting untuk diketahui.Lantas, pastikan rekening listrik dan air tidak dijadikan satu atas nama pengelola gedung. Tiap penghuni berhak mendapatkan rekening individual, terpisah. Dengan begitu, pembayaran tidak perlu disentralkan, bisa disetorkan secara mandiri ke penyedia jasa listrik dan air.

Mengapa itu penting untuk diketahui sejak awal? Sebab, penyatuan rekening listrik dan telepon akan membuat penghuni amat tergantung dengan pengelola gedung. Pengelola bisa dengan gampang mencabut pasokan listrik dan air untuk menekan penghuni menuruti kemauannya. Pengelola juga sering menetapkan tarif lebih tinggi daripada tarif PLN dan PDAM. Kasus ini terjadi di banyak apartemen.

Kemudian, saat pembentukan PPRS, aktiflah terlibat dan pelajarilah peraturan seputar rumah susun. PPRS ini elemen yang sangat penting. Dialah yang menunjuk pengelola rusun. Jika penghuni tidak bersuara, pengembang yang menjelma sebagai penghuni bisa seenaknya menunjuk diri sebagai pengelola. Banyak yang kejeblos dengan kondisi ini karena berbaik sangka mempercayai keberadaan pengembang di awal pembentukan PPRS. Nyatanya, pengurus hanya sebagai boneka, pengelola yang mengatur uang. Tanpa ada transparansi penggunaan dana.

Berdasarkan pengalaman Anda, bagaimana sikap kebanyakan penghuni terhadap masalah yang membelit apartemen mereka?
Kebanyakan mereka orang sibuk. Mereka nggak mau pusing. Yang memberikan dukungan, ada. Tetapi, mereka tidak terlalu peduli. Apalagi, jika dilihat secara individual, uang yang dikeluarkan untuk biaya pengelolaan relatif tidak banyak. Namun, kalau dikalkulasi secara menyeluruh, angkanya tidak main-main. Perhitungannya saya kirimkan ke tiap unit. Mereka seolah tak percaya, ”Masak segini besar?” Menurut saya, kita harus berhimpun karena permasalahannya sama.

Dengan cara Anda yang blak-blakan, apa risiko yang Anda pernah hadapi?
Saya pernah mendapatkan surat terbuka yang ditempel di unit-unit apartamen yang saya huni. Saya dituduh menilep duit pengelolaan. Saya juga pernah mendapatkan surat kaleng.Lantas, saya diadu domba dengan sesama penghuni. Siapa pun yang membayar ke PPRS buatan warga, aliran listrik dan airnya dimatikan oleh pengelola. Kisruh jadinya.

Anda tak gentar?
Saya geleng-geleng membaca surat terbuka atau surat kaleng itu. Secara logika saja itu tidak benar. Biar saja itu beredar. Saya tak bisa melarang.Saya merasa benar. Niat saya baik. Saya tahu masalah ini sulit untuk diatasi. Tetapi, saya yakin Tuhan akan beri jalan jika kita berusaha. Suami mengkhawatirkan saya. Dia takut saya akan jatuh sakit karena terlalu memikirkan PPRS hunian kami dan juga APERSSI.Teman-teman bilang buat apa susah-payah berperang melawan raksasa pemegang kapital. Saya percaya cepat atau lambat progresnya pasti ada. Lihat saja perjuangan Suciwati, istri almarhum Munir. Hukum kini mulai memihak rakyat. Yang pernah punya kekuasaan saja bisa diseret ke meja hijau.

Mengapa Anda mau capek-capek mengurusi persoalan rusun?
Pengurus PPRS dan Aperssi itu tidak ada gajinya. Soal finansial, saya tercukupi dari pendapatan suami dan bisnis kontraktor kecil-kecilan yang kami jalankan. Saya juga punya rumah kost di Bandung. Saya menikah tanpa dikaruniai anak. Saya pikir egois sekali cuma mencari uang untuk diri sendiri. Saya ingin membaktikan waktu dan kemampuan demi kepentingan bersama. Bagi saya, sekarang aktivis nomor satu, bisnis nomor dua. Saya juga punya unit, jadi selain menyelamatkan diri sendiri juga orang-orang yang merasa senasib. Belakangan, nyaris tiap hari ada saja orang yang berkonsultasi via  handphonesoal rusun. Mereka mengetahui saya dan Aperssi lewat internet.

Berpengalaman di organisasi rusun, tak tertarikkah Anda bergabung dengan partai politik?
Saya pernah diajak menjadi calon anggota legislatif oleh salah satu partai politik. Saya berterima kasih dengan tawaran tersebut. Ini artinya, mereka menghargai kemampuan saya. Tetapi, kesempatan itu tidak saya ambil.Kasus apartemen sama seperti negara kita dalam scope kecil. Yang di skala kecil saja kayak begitu kejadiannya, apalagi di parpol, yang jujur malah bisa jadi yang ketendang nantinya.

Sumber : http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/22/kat/119/news_id/4223#

5 Comments »

  1. Bu, saya dukung…teruskan perjuanganmu…

    Comment by Jelita — March 20, 2009 @ 3:54 am | Reply

  2. DH,
    Tanpa bermaksud menyinggung, tapi kutipan wawancara ibu tersebut di atas menurut saya tidak balance.
    Saya kebetulan pemilik beberapa apartment di Tangerang, dan saya setuju dengan PPRS, tapi kalau menggeneralisasikan semua developer sama dengan developer di tempat ibu, adalah KELIRU. Saya tidak setuju jika PPRS dibentuk dalam kondisi tingkat hunian kurang dari 30 persen, karena dalam kondisi tersebut Developer tidak mungkin untung milyaran, adanya mereka terus bersubsidi karena banyak unit miliknya belum terjual. Apartment di Jakarta bisa jadi patokan bagi hunian yang tingkat demand-nya tinggi, tapi tidak bisa jadi patokan untuk apartment di Tangerang, yang mostly orang masih menyukai tinggal di landed house. Masalah rekening listrik dan air, saya rasa berbeda dengan pengajuan landed house, karena saya juga tanya ke orang-orang di PLN, apartment adalah komersial/bisnis, dan tarif yang dikenakan juga berbeda.

    Justru beberapa teman saya yang memiliki apartment dan kebetulan mereka berlawanan visi terhadap segelintir orang yang ingin membentuk PPRS (mengatasnamakan warga, padahal banyak yang kontra) dan kebetulan segelintir orang ini didampingi oleh orang-orang APERSSI. Tindakan segelintir orang-orang ini malah represif terhadap warga yang pro dengan developer atau netral, dengan mengirimkan sms/menempelkan selebaran ke beberapa warga untuk tidak membayar Service Charge, Listrik dan Air, dan memprovokasi ke sana kemari sehingga masalah sebenarnya (seperti teknis gedung dll) tidak tertangani.

    Saran saya, Indonesia negara demokrasi berasaskan Pancasila. Tapi orang melek hukum bukan untuk menjatuhkan pihak lain tapi mencari solusi dari permasalahan yang sudah ada. Memang banyak developer yang nakal. Tapi kesimpulan persoalan anda tidak dapat jadi acuan untuk seluruh apartment.

    Terima kasih,
    J

    Comment by Juli Yanti — July 21, 2010 @ 3:25 pm | Reply

    • Ibu Juli Yanti ini sepertinya KAKI TANGAN Developer yg ditugasi mengurus MANAJEMEN BUIDING Apartemen ya??

      Ibu Juli, JANGAN CARI MAKAN di ATAS PENDERITAAN Orang lain…

      Comment by rizal — March 10, 2011 @ 8:21 pm | Reply

  3. Bu Diana Yth ; saya salut untuk keberanian Ibu dalam mengusung kasus ini ke wilayah yg lebih terbuka, saya pun mengalami hal yang di tempat saya sekarang bermukim. Jika ada kesempatan saya ingin berbincang dan tukar pendapat dengan ibu..agar hak kita sebagai konsumen bisa kita dapatkan.

    Comment by eko hartono — August 17, 2010 @ 1:09 pm | Reply

  4. saya dukung tindakan ibu diana, bila itu memang demi kebaikan buat byk org, jgn ragu utk memperjuangannya,Gbu

    Comment by tomy siregar,sh — November 3, 2010 @ 6:39 am | Reply


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Leave a reply to eko hartono Cancel reply

Blog at WordPress.com.